Kamis, 25 April 2013

Aliran Kepercayaan Semakin Mendapat Legitimasi Hukum

Para penganut aliran/penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di mata hukum. Belum lama ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerbitkan Peraturan Menteri (Permendagri) No. 12 Tahun 2010 yang antara lain memungkinkan penghayat aliran kepercayaan mencacatkan dan melaporkan perkawinan mereka ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sekalipun perkawinan mereka dilangsungkan di luar negeri. Bagi penghayat kepercayaan WNA juga dimungkinkan mencatatkan perkawinan dengan menyertakan surat keterangan terjadinya perkawinan dari pemuka penghayat kepercayaan.

Permendagri itu bukan satu-satunya regulasi yang memberi legitimasi hukum aliran/penghayat kepercayaan. Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) telah menandatangani Peraturan Bersama Menteri No. 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Peraturan administrasi kependudukan yang lebih tinggi tingkatannya seperti Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 dan UU yang menjadi payungnya, yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), juga memberikan legitimasi bagi penghayat kepercayaan. Legitimasi hukum ini berbeda sekali dengan perlakuan yang diterima para penghayat kepercayaan selama Orde Baru. Lembar sejarah hukum Indonesia mencatat kasus sengketa pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan yang bermuara hingga ke Mahkamah Agung.

Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Uli Parulian Sihombing, memberikan apresiasi atas pengakuan hukum terhadap para penghayat kepercayaan, khususnya dalam administrasi kependudukan. Namun penulis buku “Menggugat Bakor Pakem, Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia” (2009) ini menilai pengakuan hukum tersebut belum benar-benar dilakukan. Dalam praktik, status agama para penghayar dalam KTP masih belum diisi sebagai konsekuensi hanya enam agama yang diakui resmi oleh negara.

Demikian pula soal pencatatan perkawinan. Peraturan perundang-undangan memang memberi ruang bagi penganut aliran/penghayat kepercayaan untuk mencatatan perkawinan mereka di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil. Tetapi seringkali penghayat kesulitan karena perkawinan mereka harus lebih dahulu dicatatkan pemimpin penghayat kepercayaan. Dan pemimpin yang diakui adalah yang yang sudah tercatat di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Menurut Uli Parulian, para penghayat kepercayaan banyak ditemukan pada masyarakat adat yang belum terbiasa dengan dokumentasi peristiwa kependudukan. Karena itu, legitimasi hukum penghayat kepercayaan belum bisa diartikan sebagai pengakuan penuh terhadap eksistensi mereka.

Penodaan Agama

Di tempat terpisah, Ketua Komnas Perempuan Yunianti Chuzaifah mengakui jaminan terhadap penghayat kepercayaan dalam UU Adminduk sudah lebih maju dibanding sebelumnya. Namun, ia mencatat masih ada UU yang tidak ramah terhadap penghayat  kepercayaan, yakni UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. “Banyak perkawinan perempuan penganut penghayat kepercayaan yang tidak dicatat gara-gara UU ini,” jelas Yunianti dalam pengujian UU Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi, akhir pekan lalu.

Penjelasan Pasal 1 UU tersebut memang hanya mengakui enam agama di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sedangkan empat agama lain -Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan Thaoism- tidak dilarang beredar di Indonesia sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan ini yang sering digunakan para birokrat di Indonesia untuk tidak mencatat warga negara penganut penghayat kepercayaan. Para penghayat kepercayaan pun tak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berakibat sulitnya para penghayat kepercayaan itu mencatat perkawinannya. “Ini jelas merugikan perempuan,” tegas Yunianti.

Munarman dari Front Pembela Islam (FPI) mempertanyakan tidak dicatatnya perkawinan para penghayat kepercayaan memang karena UU Penodaan Agama atau karena birokrasi yang salah memahami. Ia menilai tak ada hubungannya UU Penodaan Agama dengan tidak dicatatnya perkawinan penghayat kepercayaan, karena keduanya berada di ranah hukum yang berbeda.

Hakim Konstitusi M Alim juga memiliki pertanyaan yang sama. Menurutnya, bila memang ada perkawinan penghayat kepercayaan yang tidak dicatat oleh para pejabat pemerintah maka telah terjadi pelanggaran UU Adminduk. “Seharusnya tindakan seperti itu digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bukan dipersoalkan ke MK,” tuturnya. 

sumber: www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar